Penjualan barang elektronik selama 2008 tergerus nilai tukar rupiah. Perusahaan pembiayaan yang membidik segmen ini juga tidak banyak membantu. Bagaimana peluang pada 2009? Tb. Rully Ferdian
BERITA mengenai naiknya volume penjualan barang-barang elektronik tak nyaring lagi sekarang ini. Begitu juga dengan kendaraan bermotor. Pelaku bisnis barang elektronik dan otomotif kini tengah menginjak pedal rem.
Gejolak nilai tukar rupiah yang berada pada kisaran Rp11.000 per US$1 membuat pelaku industri ini mengambil posisi aman. Maklum, sebagian besar komponen dari kedua barang ini masih disokong muatan impor. Belum lagi ditambah menurunnya daya beli masyarakat yang nyaris membuat kedua produk ini lesu di pasaran.
Data Electronics Marketer Club (EMC), misalnya, menunjukkan terjadinya penurunan penjualan barang elektronik sejak Agustus 2008 lalu. Pada Juli 2008 penjualan mencapai Rp1,85 triliun, tapi kemudian turun menjadi Rp1,73 triliun pada Agustus 2008. Penurunan makin tajam hingga menembus angka Rp1,52 triliun pada September 2008. Kondisi yang sama juga terjadi pada Oktober 2008 yang mencapai Rp1,5 triliun.
Berdasarkan data yang sama, barang elektronik yang kerap diburu konsumen, seperti televisi, lemari es, pengatur suhu udara (air conditioner atau AC), dan mesin cuci, mengalami penurunan signifikan pada September 2008. Televisi, misalnya, turun 16,9% menjadi 321.065 unit dibandingkan dengan Agustus 2008 sebanyak 386.525 unit.
Sementara, lemari es dan pembeku (freezer) merosot 16% menjadi 239.723 unit pada September 2008. Begitu pula dengan AC yang melemah 3,1% menjadi 85.550 unit ketimbang Agustus 2008 yang mencapai 88.279 unit. Kondisi yang sama juga terjadi pada mesin cuci, yang anjlok 10,8% atau menjadi 104.285 unit dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Penurunan harga komoditas, seperti minyak kelapa sawit dan crude palm oil (CPO), yang terjadi di luar Jawa disinyalir menyulut daya beli masyarakat, sehingga membuat penjualan barang elektronik terkena imbas. Kejadian ini tentunya membuat banyak perusahaan mengalami gangguan keuangan—untuk menjaga kelangsungan produksi.
Menurut data Departemen Perindustrian, ada lima produsen barang elektronik yang berniat memangkas produksinya, antara lain PT Panasonic Indonesia yang menurunkan kapasitasnya 5% hingga 10%. Pemangkasan produksi terjadi pada produk pompa air, kamera, video, lemari es, televisi, dan pemutar digital versatile disc (DVD).
PT Panggung Elektronik juga mengurangi produksinya 5% sampai dengan 10% untuk produk tape recorder, televisi, dan audio magnetic. Begitu pula dengan PT Toshiba yang memotong 10% produksi televisi liquid crystal display (LCD) dan lemari es.
Sementara itu, PT Sharp Electronics Indonesia memangkas 5% produksi televisi. Yang terparah adalah PT LG Electronic Indonesia yang memangkas hingga 20% produksi lemari es dan televisinya.
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga mengakibatkan harga jual barang elektronik naik sampai dengan 10%. Barang yang mengalami kenaikan terutama produk yang sebelumnya mengalami kenaikan bahan baku impor, seperti kulkas, pompa air, dan AC. Menurut Handojo Soetanto, Sekretaris Jenderal EMC, kenaikan beberapa produk elektronik di tingkat produsen yang marginnya tipis, seperti kulkas dan AC, mencapai 5% dan di tingkat ritel naik hingga 10%.
Sejumlah produk khusus yang diimpor, seperti televisi LCD, naik ketika rupiah mulai bergerak di atas Rp9.500 per US$1. ”Yang dikhawatirkan produsen bukan kenaikan harga, melainkan pelemahan daya beli konsumen, terutama di luar Jawa akibat melorotnya harga komoditas di Sumatra. Kenaikan dolar sampai Rp9.500 agak berat, tapi masih bisa di-absorb pasar. Kalau naik Rp10.000, semua barang elektronik naik,” ujar Handojo, yang juga Product Manager PT Hartono Istana Teknologi (produsen Polytron), beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Sementara itu, pada 7 Oktober 2008 pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 137/PMK.011/2008 tentang Perubahan Kedua Atas PMK Nomor 620/PMK.03/2004 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang tergolong mewah selain kendaraan bermotor memperluas penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk televisi, mesin cuci, dan kamera digital. Insentif ini diharapkan bisa meningkatkan daya saing produk industri dalam negeri di tengah membanjirnya produk impor.
Langkah pemerintah menghapus insentif PPnBM diperkirakan tidak berpengaruh terhadap penjualan barang elektronik secara keselurahan. ”Saya perkirakan, televisi tidak akan naik, mesin cuci tidak akan naik, tapi kamera fotografi justru akan naik karena impor semua,” jelasnya.
Handojo mencontohkan, dari penjualan per bulan untuk produk televisi jenis CRT di bawah 29 inci hampir rata-rata terjual 40.000 per bulan dan untuk non-CRT hanya 25.000 per bulan. Jenis televisi CRT di atas 29 inci tidak ada di pasar, sementara jumlah penjualan mesin cuci dari 60.000 hingga 80.000 unit per bulan.
Meski demikian, Handojo yakin bahwa penjualan barang elektronik kembali bergairah pada November 2008 dengan pertumbuhan antara 12% dan 15% seiring dengan pulihnya hari kerja dibandingkan dengan September dan Oktober 2008 lalu yang hari kerjanya terpotong libur pra dan pasca-Lebaran.
Selain itu, perluasan penghapusan PPnBM terhadap televisi hingga ukuran 29 inci dan mesin cuci dengan kapasitas enam sampai 10 kilogram juga akan membantu mendorong naiknya pembelian barang elektronik. ”Memang, kami memperkirakan peraturan itu baru berlaku efektif setelah tiga bulan dan terasa dampaknya ke masyarakat sekitar tiga bulan mengingat masih adanya stok barang lama yang diproduksi maupun diimpor sebelum peraturan berlaku,” ujarnya.
Handojo menambahkan, saat ini sudah ada beberapa merek yang langsung menurunkan harga barang elektronik sekitar 10%. Harga barang elektronik yang dihapuskan PPnBM-nya itu akan cepat turun mengingat persaingan yang cukup ketat.
Penjualan barang-barang elektronik memang tengah layu sebelum berkembang. Sektor ini sukar tumbuh sebesar 25% seperti prediksi awal 2008. Penjualan barang elektronik hanya akan mengalami pertumbuhan 15% sampai dengan 18% pada akhir 2008. Soalnya, perusahaan pembiayaan (multifinance) yang turut serta membiayai sektor ini sulit membantu. Seretnya likuiditas perbankan membuat perusahaan pembiayaan menaikkan suku bunga kredit.
Namun, segmen pasar barang-barang elektronik masih memberikan peluang untuk tumbuh pada 2009. Ketika pembiayaan otomotif tengah mengalami kelesuan, perusahaan pembiayaan kemungkinan akan memperbesar potensi pembiayaan di segmen ini. Soalnya, segmen ini masih memiliki potensi bisnis cukup bagus.
Untuk setiap barang elektronik, misalnya, perusahaan pembiayaan dapat meraup bunga hingga 30% per tahun dari nilai tunai barang tersebut. Jika dibandingkan dengan pembiayaan otomotif, yaitu mobil dan sepeda motor, perusahaan hanya mampu meraih bunga paling tinggi 26%. Perolehan bunga tersebut menjadi lebih kecil, yaitu hanya 17% saat perusahaan hanya membiayai mobil.
Selain bunga, kebutuhan untuk melakukan diversifikasi pembiayaan membuat beberapa perusahaan mulai menjajaki segmen ini. Diversifikasi ini sudah dilakukan perusahaan pembiayaan yang selama ini membidik segmen sepeda motor. Melihat pasar barang elektronik yang makin berkembang, tidak menutup kemungkinan jika peluang ini pula yang akan dilakukan perusahaan pembiayaan pada 2009.
Lihat saja, misalnya Adira Quantum yang mengucurkan kredit barang elektronik hingga Rp1 triliun pada 2008. Bahkan, lantaran permintaan tinggi, anak perusahaan Adira Finance ini telah melampaui target pada September 2008.
Begitu pula dengan PT Federal International Finance yang menargetkan penyaluran kredit barang elektronik hingga Rp1 triliun pada 2008. Sementara, realisasinya pada akhir Agustus 2008 lalu sudah mencapai Rp640 miliar.
Kondisi ini menunjukkan bahwa peluang pembiayaan barang elektronik masih memberikan napas panjang di saat perusahaan pembiayaan gencar menggarap kredit otomotif.
Selasa, 06 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)